Fenomena Orang Kota.

Sering rasanya saya membaca post tentang orang jakarta dan embel-embelnya. Mulai dari sikap orang aslinya sendiri hingga sikap dari para pendatang yang mengadu nasib disana. Kebanyakan post tersebut menceritakan dan menggambarkan bagaimana sikap kasar dan hedon mereka. Namun terkadang muncul pertanyaan dalam benak saya ‘Benar hanya orang Jakarta saja kah yang begitu atau memang itu sikap orang kota?’

Banyak sekali yang menggambarkan bagaimana orang jakarta dengan sikapnya yang seenaknya sendiri, cuek dan tidak mau tau akan sekitar. Dan bagaimana seorang pendatang yang sebelumnya “baik” akhirnya terpaksa menjadi seperti itu juga karena mereka harus beradaptasi akan keadaan sekitarnya.

Ada pula tentang bagaimana orang jakarta yang merasa superior dan lebih baik daripada orang dari daerah lain. Dan bagaimana para pendatang itu bersikap seakan-akan “lebih” daripada orang-orang asalnya di desa karena mereka telah menginjakkan kaki di Jakarta.

Benarkah itu hanya berlaku di Jakarta?

Menurut pendapat saya pribadi, TIDAK. Itu sebenarnya adalah fenomena umum kota besar saja. Cuma memang mungkin di Jakarta jumlahnya lebih banyak. Dan karena Jakarta adalah ibukota, sehingga lebih tersorot pula.

Perbedaan yang mengakibatkan para pendatang menjadi harus beradaptasi seperti itu pertama kali saya rasakan ketika saya duduk di bangku kuliah, ketika yang saya temui orang-orang dari berbagai daerah, tidak lagi hanya dari Surabaya saja. Saya masih ingat bagaimana teman-teman kuliah saya yang pendatang itu begitu shock dan kaget melihat salah satu dosen saya dengan santainya berkata “Koen kok goblok cok!” sementara saya dan teman-teman yang asli Surabaya hanya terkikik mendengarnya. Dan begitu juga bagaimana mereka ada yang menangis ketika ospek, salah satu senior ada yang berbicara “Cok!” kepada mereka. Keduanya merupakan kata-kata yang masih dianggap sangat kasar di luar Surabaya, tentu saja karena embel-embel “COK” yang artinya kurang lebih sama seperti “FUCK” ๐Ÿ™‚

Saya juga masih cukup ingat bagaimana beberapa orang non-Surabaya menganggap kata-kata saya terlalu ceplas ceplos dan sedikit vulgar serta menohok.Yah, memang dari segi bahasa Surabaya adalah kota dengan dialek paling kasar dan cara bicara yang blak-blakan. Sehingga secara mau tidak mau orang non-Surabaya juga harus bisa beradaptasi dengan keadaan seperti ini.

Sering juga saya mendengar komentar orang Jakarta itu cuek dan kasar. Jujur saya sama sekali tidak merasa adanya sikap kasar atau cuek yang keterlaluan ketika saya berlibur ke Jakarta. Mungkin karena hal tersebut juga sudah sering saya temukan di Surabaya sehingga saya tidak melihatnya sebagai sesuatu yang aneh. Tetapi mungkin memang bagi orang dari daerah yang memang masih kadar kepedulian satu sama lainnya sangat tinggi, hal-hal yang mereka lihat di Jakarta itu membuat mereka merasa berbeda dan mengganggap “Ibu kota itu kejam!”

Di desa atau daerah kita masih sempat mengenal siapa tetangga kita dan berinteraksi dengan mereka. Karena mereka mungkin masih memiliki waktu yang cukup untuk itu, seperti misalnya pulang kerja. Sementara di kota waktu mereka habis termakan oleh kegiatan dan perjalanan. Waktu yang tersisa pun hanyalah weekend yang tentunya lebih dipilih digunakan untuk bermalasan di kamar atau malah pergi ke mall. Sehingga sesuatu yang umum jika seseorang tidak mengenal tetangganya sendiri ketika di kota, karena mereka saling sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Anak muda Jakarta banyak yang kurang ajar dan egois. Tak jarang anak muda tidak memberikan kursinya kepada yang lebih tua di bus TJ.
Well, seharusnya kita malah kasihan dengan anak-anak seperti itu. Karena orang tua mereka mungkin terlalu sibuk sehingga lupa dan tidak sempat mengajarkan kepada anaknya bagaimana untuk bersikap semestinya. Dan akhirnya mereka bersikap semaunya sendiri. Ironis memang. Namun memang banyak yang seperti itu.

Tak jarang pula kita temui orang kota yang tampak superior. Merasa superior itu terkadang tergambar secara tidak sengaja. Pertama karena arogansi akan daerah asalnya sendiri, dimana merasa kota asalnya lebih baik. Selain itu tekadang secara tak sadar tercipta karena komentar dan cara berbicaranya.

Sebagai contoh, saya masih teringat komentar saya ketika saya berlibur ke rumah kakak saya di Semarang, Jawa Tengah. Kakak saya mengajak saya berjalan-jalan ke mall dan bertanya kenapa saya tidak ingin membeli apa-apa. Secara spontan saya menjawab “Ngga ah, barang-barangnya masih bagusan di Surabaya” karena menurut saya memang begitu ketika melihat barang-barang disana yang yah menurut saya kurang variatif. Sebuah kejujuran yang dapat membuat orang Semarang yang mendengarnya berpikir saya ini sok dan merasa Surabaya lebih superior dibanding Semarang, meski sebenarnya saya tidak bermasud demikian.

Sementara itu para pendatang dari daerah yang mangadu nasib di kota ini pun terkadang merasa mereka lebih “WAH” daripada sekitarnya karena mereka ingin dipuji dan dianggap lebih. Dan ini dikarenakan pemikiran orang dari desa/daerah sendiri yang masih banyak merasa kota itu “WAH”. Jangankan Jakarta yang ibukota, dari Surabaya saja sudah dianggap “WAH” kok. Dan karena anggapan mereka yang “WAH” itu lah yang mendukung para pendatang itu bersikap sok-superior juga secara tak sadar kepada orang-orang sekitarnya.

Superior itu sebenarnya terbentuk karena keadaan kota yang lebih maju dari segala bidang jika dibandingkan dengan daerah atau desa. Bukan sesuatu yang aneh, karena memang pembangunan di negara kita ini belum sepenuhnya merata. Namun sayangnya justru keadaan seperti itu yang akhirnya membangun bilik dimana “Orang kota tampak wah” dan “Orang daerah itu kampungan”.

Saya sendiri pribadi tidak pernah menghina atau menganggap orang yang berasal dari daerah itu kampungan atau norak. Orang yang menurut saya norak adalah orang yang terlalu berusaha menjadi orang kota dengan tidak membanggakan bahkan tidak mau mengakui kota asalnya, dan orang kampungan itu orang yang terlalu memandang remeh orang lain tanpa berkaca seperti apa dirinya itu sendiri. Saya tidak menganggap orang kota itu juga “WAH”, hanya saja orang kota ini beruntung karena pembangunan di tempatnya sudah cukup maju. Yah, sayangnya kota hanya kaya akan pembangunan. Segala sesuatu yang lain, seperti etika dan tata krama adalah sesuatu yang susah ditemui di kota namun sesuatu yang wajib di daerah atau desa.

Jadi menurut saya apa yang mereka keluhkan tentang jakarta sebenarnya juga banyak terjadi di kota besar lainnya. Dan itu bukan fenomema orang jakarta, lebih tepatnya fenomena orang kota. Saya rasa perbedaan keadaan itu lah yang membuat adanya perbedaan yang cukup signifikan antara orang kota dan orang dari daerah. ๐Ÿ™‚

Oh iya, sering juga ada yang bilang “Di Jakarta susah cari orang baik, ga kaya di tempat lain”. Pada dasarnya orang baik ada dimana-mana. Jadi tak perlu mengeluh begitu, perbaiki diri dan jadilah orang yang baik, pasti ntar juga ketemu dengan orang baik ๐Ÿ˜€

7 thoughts on “Fenomena Orang Kota.

  1. Out – in group | Kami versus kalian | orang kota versus orang daerah
    Dan sebenarnya, semakin tampak seperti orang kota adalah mereka yang tidak percaya diri. Mereka menjadi “seakan-akan” orang kota buat menutupi ketidakpercayaan dirinya

    1. imo, mereka yang semakin tampak seperti orang kota adalah orang yang secara tak sadar menjadi budak perkembangan zaman modern. *ngaca diri* T_T

  2. Rusa udah baca semuanya

    e tapi emang orang Surabaya kasar banget koq, karakternya emang keras
    dan banyak karakter yg Surabaya banget yg sebenarnya gak aku suka sebagai orang pendatang

    1. Ih wow. Disamperin ama om rusa *malu*

      Iya om, emang ga jarang denger komentar gitu dari temen-temen yang bukan asli Surabaya. Apalagi kalo yang berasal dari daerah yang masih bagus banget unggah-ungguh nya, pasti ngerasa gimana gitu ngeliat orang Surabaya.

  3. huuuoo panjang sekali ya tulisannya, jakarta tentu jadi pembanding pertama ketika berbicara perkembangan kota, tapi bener bgt.. sebenernya semua kota punya kesamaan kok.

  4. Jatuh cinta sama bagian:

    “orang tua mereka mungkin terlalu sibuk sehingga lupa dan tidak sempat mengajarkan kepada anaknya bagaimana untuk bersikap semestinya.”

    So dem tru..

    Memang bener, org2 Jakarta demen banget meng-amplify segala hal. Pemilu di America? di amplify, Steve Jobs meninggal? di amplify, bahkan salah satu koran dijakarta keesokan harinya sampe jadi headline yg seolah2 indonesia berduka krn keergian steve jobs. Toh saat saya jalan2 hari itu ga ada apa2 tuh di sekitar saya.

    Btw, Di Medan jg perilakunya sama..

    Kesimpulannya: saya setuju!!!

  5. setunu sama fikry. orang2 jakarta suka bnget meng-amplify hal2 dinegara barat, seolah2 mreka bagian dari negara barat itu. tapi trnyata mreka follower yg gak dikenal sama skali oleh orang2 barat (dasar goblok). junjung tinggi donk nilai2 yg ada dinegeri sndiri.

Leave a reply to sibair Cancel reply